Presiden Jokowi hendak membangun Indonesia sebagai negara maritim. Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengajukan tambahan anggaran Rp37 triliun dari Rp96 triliun yang telah dialokasikan pemerintah untuk tahun 2016. Permintaan itu disodorkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo awal September ke Komisi I DPR –komisi bidang pertahanan yang menjadi mitra kerja Kementerian Pertahanan dan TNI.
Peningkatan anggaran dianggap perlu untuk membangun armada laut, yang kata Gatot, sesuai skala prioritas pemerintah di bidang maritim. Angkatan Laut ada di urutan pertama yang mendapat gelontoran dana terbesar dari tambahan anggaran itu, disusul Angkatan Udara.
“Untuk membangun poros maritim, kita perlu unggul di laut dan udara,” kata Gatot.
Tambahan anggaran itu disetujui oleh Komisi I, dengan prioritas untuk peremajaan alat utama sistem persenjataan TNI. Selain itu, TNI memasukkan kapal selam, pesawat angkut, dan radar dalam daftar belanja mereka.
Selang dua pekan, Komisi I kembali menyetujui usul realokasi anggaran Rp450 miliar untuk memperkuat pangkalan TNI di Natuna –kepulauan kaya minyak bumi dan gas yang berlokasi di Laut China Selatan, tepatnya barat laut pantai Kalimantan, dan secara administratif masuk Kepulauan Riau.
Realokasi anggaran itu diajukan Kementerian Pertahanan melihat intensitas ketegangan di Laut China Selatan yang meningkat beberapa waktu terakhir. Ini memang wilayah sengketa yang diperebutkan sejumlah negara, yang sialnya berada di gerbang Republik.
Pangkalan militer di Natuna, kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq, memang tak layak. Fasilitas di sana mesti dikembangkan, contohnya landasan pacu, hanggar, dan dermaga kapal perang.
Pangkalan di Natuna itu milik TNI AL, persisnya ialah Pangkalan Udara AL. Sayangnya selama ini landasan pacu di sana tak bisa digunakan untuk pendaratan maupun lepas landas pesawat tempur. Hanya bisa untuk pesawat angkut.
Padahal, ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, percuma saja punya kapal perang dan pesawat tempur jika dermaga dan landasannya tak bisa dipakai.
Amankan Cadangan Gas
Dua bulan terakhir, TNI memperkuat pangkalan laut mereka secara simultan, dari timur ke barat. Jika tak meningkatkan tipe pangkalan, maka TNI AL membangun pangkalan baru. Ada banyak alasan di balik gencarnya penguatan pangkalan yang berkorelasi langsung dengan pembangunan armada ini.
Penguatan armada AL di timur Indonesia misalnya, kata Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, dibutuhkan seiring proyek besar di perairan antara Ambon, Maluku dan Papua.
“Di situ ada salah satu cadangan gas terbesar di Indonesia, berbatasan dengan negara sahabat, dan lagi kekayaan ikannya besar. TNI bisa mengkaji untuk membentuk pangkalan besar di sana. Armada harus diperkuat,” kata Luhut, pertengahan September.
Cadangan gas yang ia maksud ialah Blok Masela yang terletak di Laut Arafura, perairan antara Papua dan Australia di barat Samudra Pasifik. Blok ini disebut memiliki cadangan gas sekitar 15,22 triliun kaki kubik.
Menurut Luhut, dengan infrastruktur laut Indonesia yang masih amat jauh dari harapan, penjagaan keamanan melalui penguatan armada TNI menjadi solusi.
“Anggaran Angkatan Bersenjata (TNI) akan ditambah sekitar 0,8 hingga 1,5 persen, dan prioritasnya untuk armada laut karena wilayah perairan RI begitu luas,” kata mantan tentara yang lama berkarier di Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat itu.
Penguatan armada laut, ujar Luhut, selaras dengan visi Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Visi maritim itulah yang membuat pembangunan armada laut menjadi fokus pemerintah saat ini.
Pagari Papua
Salah satu Pangkalan TNI AL (Lanal) yang diperkuat di timur Indonesia ialah Lanal Sorong di Papua Barat. Akhir Agustus, pangkalan itu ditingkatkan statusnya dari Pangkalan Kelas B menjadi Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal).
Peningkatan status ini otomatis meningkatkan pula dukungan logistik dan armada bagi pasukan TNI AL yang beroperasi di perairan timur Indonesia, terutama Provinsi Papua Barat –daerah perbatasan yang masuk kategori rawan konflik.
Disebut rawan konflik, kata Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi, karena Papua –yang di dalam pulau itu termasuk Papua Barat– berbatasan dengan beberapa negara lain seperti Australia, Papua Nugini, dan Palau yang merupakan bagian dari wilayah Mikronesia –subregion Oseania.
Khusus Sorong, wilayah itu berdekatan dengan salah satu rute pelayaran internasional yang punya potensi kerawanan tinggi terhadap gangguan keamanan di laut. Itu sebabnya perairan tersebut dianggap perlu diawasi secara intensif.
Dengan letak geografis semacam itu, ujar KSAL, diperlukan “Peningkatan kemampuan Pangkalan TNI AL untuk menciptakan keamanan perairan di perbatasan.”
Alasan lain tentu kembali ke visi sang Presiden. “Dari aspek geopolitik dan geostrategi, pengembangan Lantamal XIV Sorong merupakan bentuk komitmen TNI AL dalam mendukung visi Poros Maritim Dunia,” ujar Ade.
Aspek keamanan dan politik di belakang penguatan Pangkalan TNI AL di Sorong berkelindan dengan persoalan bisnis. Pelabuhan Sorong yang menjadi bagian dari jalur utama tol laut Jokowi akan dibangun dan dikembangkan menjadi salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia. Pelabuhan ini diproyeksikan menjadi salah satu pusat distribusi logistik dan perdagangan di wilayah timur RI.
Ada lebih dari 20 pelabuhan di Indonesia yang berada di lintasan tol laut –jalur yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar RI dari barat ke timur. Konsep ini dimunculkan untuk mengatasi ketidakseimbangan muatan barang antara kawasan barat dan timur RI yang menyebabkan tingginya biaya logistik.
Pangkalan AL Sorong bukan cuma ditingkatkan statusnya menjadi Pangkalan Utama, tapi juga bakal menjadi Markas Komando Armada III di masa depan.
Struktur operasional TNI AL yang saat ini terdiri dari dua komando armada, ke depannya akan berubah. Komando Armada Kawasan Barat dan Komando Armada Kawasan Timur akan dilebur menjadi Komando Armada Republik Indonesia yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur –lokasi di mana TNI AL selama ini menempatkan sebagian besar kekuatannya.
Selanjutnya Komando Armada RI tersebut akan dibagi tiga, yakni Komando Armada I untuk kawasan barat yang bermarkas di Jakarta; Komando Armada II untuk kawasan tengah yang bermarkas di Makassar, Sulawesi Selatan; dan Komando Armada III untuk kawasan timur yang bermarkas di Sorong, Papua Barat.
Pangkalan TNI AL di Sorong makin istimewa karena di sana pun akan menjadi markas Pasukan Marinir 3 –pemekaran Korps Marinir yang selama ini memiliki dua Pasukan Marinir, yakni Pasukan Marinir 1 yang bermarkas di Sidoarjo, Jawa Timur, dan Pasukan Marinir 2 yang bermarkas di Cilandak, Jakarta Selatan.
Selain Lanal Sorong, ada dua Pangkalan TNI AL lain yang juga ditingkatkan statusnya menjadi Pangkalan Utama atau pangkalan kelas A, yakni Lanal Pontianak di Kalimantan Barat dan Lanal Tarakan di Kalimantan Utara.
Ketiga pangkalan tersebut berhadapan langsung dengan area sengketa. Sorong dan sederet peran pentingnya telah disebutkan di atas. Pontianak berhadapan dengan Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia, dan Tarakan tepat berada di depan blok kaya minyak –Ambalat– yang selama ini menjadi biang gesekan antara Indonesia dan Malaysia.
Seluruh langkah TNI membangun armada laut itu menggaungkan pesan Jokowi yang dibeberkan dalam pidato kenegaraannya, 13 bulan lalu: kita tidak boleh lagi memunggungi samudra dan laut.
“Kita harus mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa maritim, bangsa yang menjaga dan mendayagunakan lautnya dengan penuh kesungguhan. Itulah bagian awal dari upaya kita untuk menjadi Poros Maritim Dunia.”
Itulah cita-cita sang Presiden yang kini perlahan hendak diwujudkan armada maritimnya.
Sumber: CNN Indonesia
Mengintip TNI Bangun Armada Maritim Terhebat..MANTAP!
4/
5
Oleh
ADMIN